Sunday, July 26, 2020

This is Africa 2 - Chivero

Akhir minggu ini kami memutuskan untuk mengunjungi Danau Chivero. Entah sudah kunjungan yang keberapa, karena danau ini adalah tempat wisata terdekat dari kediaman kami di Kota Harare. Hanya diperlukan waktu perjalanan sekitar 45 menit untuk mencapainya. Danau Chivero ini adalah danau buatan yang terbe
Matahari terbenam di Danau Chivero
ntuk karena dibendungnya Sungai Manyame di tahun 1950. Danau ini menyuplai kebutuhan air bersih untuk Kota Harare.

Banyak kegiatan yang bisa dilakukan di sekitar Danau Harare antara lain memancing, piknik, mengendarai perahu, menunggang kuda, melihat lukisan yang dibuat manusia purba, serta melihat binatang liar. Kegiatan yang terakhir adalah favorit bagi kami. Banyak binatang liar yang bisa ditemui berkeliaran bebas di sana yaitu Badak Putih, Jerapah, Zebra, Wildebeest, Impala, Burung Unta, Baboon, Kera, Elang pemakan ikan, Babi Hutan serta masih banyak lagi burung beraneka jenis. Danau Chivero bisa dikunjungi setiap hari dari pukul 6 pagi hingga 6 petang. Jangan mencoba tinggal di dalam melebihi jam yang ditentukan karena petugas patrol akan segera mendekat dan meminta kita untuk meninggalkan tempat. Juga tersedia penginapan di dalamnya. Biaya masuk tempat ini bagi pemilik KTP/ID setempat adalah 3 USD per orang serta 3 USD untuk mobil. Sedangkan bagi wisatawan asing akan dikenai 10 USD per orang dan 10 USD untuk mobil. Karena satwa disini semua adalah satwa liar maka pengunjung yang menggunakan mobil yang hanya diperbolehkan masuk. Kami pernah berjumpa dengan wisatawan asing yang mencoba masuk dengan berjalan kaki yang tentu saja ditolak olah petugas. Di dalam kawasan Danau Chivero dilengkapi dengan petunjuk jalan yang jelas, toilet serta kursi, meja dan tempat membbakar daging yang ditujukan sebagai area piknik. Pengunjung diharapkan mengendarai mobil pada jalur yang telah ditentukan.


Kekeringan yang melanda Zimbabwe sejak tahun lalu menyebabkan debit air di Danau Chivero menurun dengan drastis. Namun ini tidak menyurutkan kunjungan ke Danau Chivero. Waktu terbaik untuk melihat Satwa Liar pada umunya adalah pagi dan sore hari saat mereka bergerombol untuk minum di sumber air. Kami sendiri selalu mengunjungi Danau Chivero sore hari karena kami akan mendapat suguhan matahari terbenam yang sangat indah. Matahari terbit dan matahari terbenam di Afrika adalah yang terindah sejauh ini menurut kami.



Sunday, June 28, 2020

This is Africa 1

Jacaranda di sudut Kota Harare
Jacaranda di sudut kota Harare

Pada bulan November 2018, saya harus berpindah tempat tugas ke sebuah negara di Benua Afrika. Pekerjaan saya sekarang mengharuskan saya dan istri untuk pindah sementara dari Indonesia ke benua itu selama kurang lebih 2 tahun yang kemudian jika semua berjalan sesuai dengan rencana kami akan langsung pindah lagi ke Laos selama 2 tahun lagi dan baru kembali ke Indonesia. Ada banyak cerita dan alasan bagaimana akhirnya saya bisa terpilih atau lebih tepatnya memilih untuk tinggal di Benua Afrika tapi, apapun alasan dan ceritanya, bagi saya dan istri, ke Benua Hitam ini adalah another chapter of adventure walaupun kami sama sekali mengendarai sepeda motor seperti yang sering kami lakukan di Indonesia tapi, to see different culture, people, language and try to live with them adalah salah satu anugerah dan pemberian dari Tuhan yang sungguh rruuuarrrr biaasaa….Alhamdulillah… Tulisan ini saya buat kurang lebih 3 bulan sebelum saya harus pindah lagi ke Negara lainnya untuk tinggal dan bekerja salama 2 tahun jika semua berjalan sesuai rencana.

Negara itu dinamakan Zimbabwe yang berada di Benua Afrika bagian selatan, tepat berbatasan langsung dengan Afrika Selatan di sebelah selatannya., Negara Zambia di sebelah utaranya, Mozambique di sebelah timur dan di sebelah baratnya ada Negara Botswana. Nama nama Negara yang mungkin cukup kurang didengan oleh kita semua. Banyak hal yang dapat diceritakan di Negara ini mulai dari politik, ekonomi, sosial budaya dan masih banyak hal lainnya, namun saya tidak akan membahas hal-hal itu karena saya akan membahas mengenai tempat-tempat mana saja yang pernah saya kunjungi untuk saya bagi kepada anda.

Mungkin banyak dari anda yang sering dengar nama Zimbabwe namun ya hanya mendengar saja, seperti saya dulu. Dulu sewaktu sekolah nama Zimbabwe sering digunakan sebagai semacam ejekan untuk mengtakan bahwa sesuatu atau seseorang itu berasal dari tempat yang jauh atau kuno. Ya, itu juga sebagai salah satu alasan mengapa saya memilih untuk tinggal disini.

Harare, adalah ibukota Negara ini dimana saya tinggal, saya tinggal di apartemen berlantai 6 di daerah agak pinggir kota yang berada tepat di depan rumah dinas presiden. Hampir seluruh bangunan yang ada di kota ini merupakan bangunan yang sudah cukup lama karena dibangun sewaktu masa penjajahan Inggris, termasuk apartemen yang saya tinggali. Hampir tidak ada bangunan baru yang dibangun di negara ini karena berbagai macam alasan. Namun bangunan yang telah berumur ini menurut saya member kesan tersendiri mengenai kota ini, jadi terlihat lebih authentic menurut saya.

Victoria Falls, adalah air terjun terbesar di dunia yang kebetulan berada di antara 2 negara yaitu Zimbabwe dan Zambia, jadi masing-masing Negara membuka tempat wisata untuk dapat melihat air terjun ini. Saya belum pernah melihat Victoria Falls dari sisi Zambia, namun menurut saya dari sisi Zimbabwe sudah sangat sangat terlihat kemegahannya. Dari sisi Zimbabwe terdapat lebih dari 10 viewpoints yang disediakan, anda bisa memilih viewpoints mana yang akan dijadikan latar belakang foto anda. Saya sudah 3 kali mengunjungi air terjun ini dan tidak ada kata bosan karena ya memang pemandangannya yang luar biasa indah, perjalanan menuju kesini dari Harare jika dilakukan dengan perjalanan darat juga sangat menarik dan ini merupakan salah satu tempat yang wajib dikunjungi paling tidak sekali seumur hidup jika anda memang menggemari keindahan alam.

Jacaranda di Harare

Victoria Falls terletak agak jauh dari ibukota Negara, diperlukan waktu tempuh lebih dari 12 jam dengan kendaraan pribadi dengan jarak dari ibukota kurang lebih 800an Km. Tiga kali saya kesana, semuanya dengan kendaraan pribadi, dua kali dengan menginap dulu di tengah perjalanan, yaitu di kota Bulawayo, dan satu kali kami mencoba langsung menuju kesana tanpa menginap dan bermalam di jalan.

Suasana di Victoria Falls hampir seperti Bali di Indonesia, karena tempatnya yang sangat touristy, banyak tempat makan, penginapan yang disediakan khusus untuk para wisatawan menurut saya sangat berbeda dengan suasana  Zimbabwe pada umumnya di luar Victoria Falls yang nampak tidak semegah dan segemerlap Vicfalls.

Sebenarnya ada cara lain untuk pergi ke Vicfalls, yaitu dengan menumpang pesawat terbang dari Harare, namun kami tidak memilih opsi itu karena selain menghemat biaya kami lebih senang melakukan perjalanan darat karena kami bisa melihat berbagai pemandangan yang ada, pemandangan kota-kota kecil sepanjang jalan menuju Bulawayo, atau pedesaan dan ladang-ladang milik warga serta rumah adat mereka yang masih banyak tersebar di pinggir jalan.

Masih banyak tempat-tempat indah lainnya yang kami telah kunjungi di Negara ini, yang akan saya tulis di post selanjutnya.

Pelangi di Vicfalls

Friday, March 16, 2018

ANTARA KAMI DAN KELIMUTU part 2


Hari 1, Jakarta – Banyuwangi

Kami berangkat dari Jakarta menggunakan pesawat. Motor sudah saya kirim 3 hari sebelumnya menggunakan Herona. Saya ingat hari itu adalah malam imlek dan Jakarta diguyur hujan lebat hingga banjir dan macet dimana-mana. Sempat khawatir akan tertinggal pesawat, namun kami berhasil sampai bandara Soekarno Hatta 10 menit sebelum pesawat take off. Ternyata kami masih diijinkan check in dan banyak pesawat yang mengalami delay karena alasan cuaca termasuk penerbangan kami. Setelah tertunda selama hampir 4 jam akhirnya kami berangkat dan mendarat dengan selamat di Banyuwangi yang panas, hahaha……….dengan taksi, kami menuju Latansa homestay di utara kota Banyuwangi dan beristirahat. Untuk makan malam kami membeli nasi tempong Mbok Nah, makanan yang selalu kami cari jika datang ke Banyuwangi.


Hari 2, Banyuwangi – Lombok

SIap-siap unpacking motor
Pagi itu diawali dengan mengambil motor di kantor Herona Stasiun Banyuwangi Baru. Pengambilan motor bisa dilayani kapan saja karena ada petugas yang menginap di kantor tesebut. Untuk mengambil motor dan membeli bensin kami meminjam motor Latansa Homestay karena jarak pom bensin yang bersedia melayani pembelian dengan botol terletak jauh dari Homestay dan sepanjang jalan menuju stasiun kami tidak menemukan pedagang bensin eceran. Sambil menunggu proses unpacking, istri membeli sarapan nasi bungkus di stasiun. Harganya murah sekali untuk porsi yang cukup besar. Kembali ke homestay, kami segera memasang side bag, tail bag dan tank bag. Setelah selesai kami segera menuju pelabuhan Ketapang. 

Penyeberangan ke Pulau Bali memakan waktu selama 1 jam dengan biaya 24.000. Begitu berlabuh di Gilimanuk, saya segera memacu motor melintasi Pulau Bali menuju pelabuhan Padang Bai. Hanya berhenti untuk makan siang di sekitar kota Tabanan, total waktu yang diperlukan adalah 5 jam untuk melintasi pulau Bali. Kami sempat menunggu selama 45 menit sebelum bisa naik ke kapal yang
Mengantri di Pelabuhan Padang Bai
membawa kami menyebrang menuju pelabuhan Lembar. Biaya
penyebrangan adalah sebesar Rp 129.000. Di atas kapal kami menyewa kamar ABK seharga Rp 100.000 yang berisi 3 tempat tidur dan colokan listrik. Kamarnya terletak di dekat dapur ABK dan mushola dan cukup nyaman untuk beristirahat dan mengisi baterai handphone. Merupakan keputusan yang tepat untuk menyewa kamar, karena tidak lama kemudian istri mengalami mabuk laut dan perlu berbaring. Setelah 4 jam berlalu kami berlabuh di Lembar. Motor kemudian saya pacu ke Kota Lombok menuju Red Doorz Hotel Pejanggik yang juga merupakan hotel Kertayoga. Kami berhasil sampai bertepatan dengan turunnya hujan…fiuuh selamat dari ngambeknya istri….hehehe. Untuk makan malam kami memilih memesan lewat aplikasi ojek online karena ingin segera beristirahat.


Hari 3 Lombok – Sumbawa Besar

Di tepi jalan trans Sumbawa
we made it....!!
Setelah sehari sebelumnya melakukan perjalanan cukup panjang, hari ketiga ini kami ingin santai saja. Kami membeli sarapan di pelabuhan Kayangan dan menunggu 1 jam sebelum bisa naik kapal. Biaya yang dikenakan sebesar 54.000. Untuk sampai ke pelabuhan Pototano memerlukan waktu berlayar selama 2 jam. Tidak jauh dari pelabuhan terdapat penunjuk jalan legendaris yang menjadi objek foto favorit para biker. Kami pun menyempatkan diri berfoto di sana. Jalanan di pulau ini hampir semuanya mulus, tidak banyak kendaraan yang melintas, terbuat dari aspal hotmix dan dilengkapi pemandangan indah karena di sepanjang sisi kiri adalah garis pantai. Sesampainya di kota Sumbawa kami segera menuju hotel Pondok Daun. Di sini kami hanya berjalan-jalan sebentar sembari mencari makan karena memang tidak banyak aktraksi wisata di kota ini.


Hari 4 Sumbawa Besar – Bima

Dekatnya jarak yang akan ditempuh hari ini membuat kami sedikit bermalas-malasan, selain karena keadaan kamar yang sangat nyaman dan sarapan enak yang disediakan hotel. Menjelang tengah hari kami baru melakukan perjalanan ke Kota Bima. Di perjalanan kami sempat singgah di warung penjual jagung pulut/jagung ketan rebus siram air garam. Makanan ini yang paling kami inginkan ketika mendengar nama kota Bima. Harganya murah hanya Rp 4.000/buah dan sudah cukup mengenyangkan. Sesaat sebelum masuk pusat kota, banyak dijumpai pedagang buah srikaya dengan ukuran besar. Sayang kami tidak berkesempatan mencicipinya. Setelah 5 jam perjalanan, kami sampai di Kota Bima dan segera menuju hotel Marina untuk berisitirahat dan membersihkan diri, kami lalu makan malam sambil berjalan-jalan di Kota Bima. 
Ini Jagungnyaa..


Kota Bima
Kota Bima tidak banyak berubah sejak kunjungan kami di tahun 2015, hanya saja plang bertuliskan Kota Bima Berteman sudah tidak kami lihat dan ada peningkatan fasilitas umum di sepanjang bibir pantai yang sekarang telah dilengkapi masjid apung. Sekembalinya ke hotel, kami mecari informasi jadwal kapal yang berangkat dari Pelabuhan Sape ke Pelabuhan Labuan Bajo. Pihak hotel memberikan informasi bahwa kapal dari Pelabuhan Sape akan berangkat pada pukul 09.30 dan perjalanan dari hotel ke pelabuhan kurang lebih memakan waktu 1 jam. Sebetulnya ada jadwal keberangkatan sore dari Sape ke Labuan Bajo tetapi kami tidak menanyakan lebih lanjut karena kami tidak menyukai ide berada di laut saat hari sudah gelap.


Hari 5 Bima – Labuan Bajo

Hotel Marlina menyediakan sarapan sejak pukul 06.00 pagi, segera setelah menyelesaikan sarapan dan packing kami segera berangkat ke Pelabuhan Sape. Karena cukup pagi, lalu lintas dipenuhi dengan anak sekolah dan para pekerja yang berpacu untuk segera sampai ke tempat tujuannya. Selepas kota Bima, jalanan agak berkelok-kelok dengan pemandangan perbukitan. Sesampainya di pelabuhan Sape kami sempat kebingungan karena pelabuhan sedang direnovasi dan loket tiket tutup. Ternyata loket tiket hanya dipindahkan sementara. Kami membayar Rp 186.000 dan segera naik ke kapal yang sudah menunggu. Saat memarkirkan motor, kami melihat motor ber-registrasi Rusia. Mereka bahkan membawa ban cadangan yang diikatkan  pada crash bar-nya. 

kamar sewaan
Kamar sewaanTadinya kami ingin menyewa kamar lagi seperti yang kami lakukan saat penyebrangan Bali-Lombok, tetapi kapal ini tidak memiliki kamar untuk disewakan. Pada kelas ekonomi terdapat semacam Bunk Bed dimana kalian bisa menyewa kasur kepada ABK, harganya tidak mahal. Kapal ini juga memiliki ruang VIP dilengkapi AC namun saat kami di sana kebetulan AC sedang bermasalah. Jadilah kami duduk selama 6 jam di ruang tertutup yang gerah walaupun ABK sudah membuka semua jendela. Pada pukul 10.00 akhirnya kapal mulai berlayar. Oh ya, jika kalian berniat untuk makan siang di atas kapal sebaiknya membeli makanan sebelum kapal berangkat. Karena
The real deal
setelah mulai berlayar, makanan yang ada di kantin kapal hanya berupa mie instan dengan harga Rp 20.000/buah. Untungnya kapl dilengkapi dengan televisi berlangganan sehingga rasa bosan tidak terlalu terasa, apalagi saat akan mendekati Labuan Bajo ada penampakann rombongan lumba-lumba. 

Kami tiba di pelabuhan Labuan Bajo pukul sekitar 16.00 karena Alhamdulillah, laut pada ssat itu sangat tenang, padahal beberapa hari sebelumnya, menurut salah satu ABK, ombak sangat besar, kami segera berkeliling mencari penginapan. Akhirnya setelah berkeliling dan bertanya, kami putuskan untuk menginap di Hotel Beta Bajo. Hotel di sekitar pelabuhan umumnya tidak memiliki tempat parkir/langsung berbatasan dengan jalan raya. Turis mancanegara memenuhi kawasan ini. Tidak hanya berwisata, beberapa dari mereka menjalankan usaha kuliner, akomodasi, kursus menyelam hingga penyedia jasa tour.


Hari 6 Labuan Bajo – Ruteng

Durian break...
Setelah selesai sarapan di hotel dan memasang semua tas di motor, saya bergegas memacu motor menuju kota Ruteng. Security hotel sudah memberitahu bahwa jalanan akan berliku dan naik turun. Belum lama berjalan, istri minta berhenti karena ingin mencicipi durian yang memang banyak dijual di warung pinggir jalan. Kami berhenti di warung milik seorang ibu yang menjual durian hasil kebunnya sendiri. Tiga kali membelah durian akhirnya didapat durian yang kualitasnya baik, dua durian sebelumnya tidak matang sempurna dan kami hanya diminta membayar durian yang terakhir seharga Rp 40.000. Rasanya manis dengan daging buah yang tidak terlalu tebal. Cukup membayar rasa penasaran. Selain durian, warga juga menjajakan rambutan, pisang dan alpukat mentega yang sungguh menggoda karena ukurannya yang besar dan dalam bayangan saya pasti daging buahnya tebal & creamy
Yummy....!!

Perjalanan Labuan Bajo – Ruteng kami tempuh dalam 5 jam. Hujan mulai turun saat memasuki kota Ruteng, untungnya penginapan yang kami tuju tidak jauh dari pusat kota. Kami menginap di Hotel Rima, sebuah penginapan yang dibangun dari kayu. Letaknya di pegunungan serta hujan yang sering turun membuat suhu di kota Ruteng sangat dingin. Hal yang kami sadari, tidak ada warung/restoran yang menjajakan makanan khas Ruteng, yang banyak tersedia adalah nasi padang, penyetan dan bakso.


Hari 7 Ruteng – Ende

Gurusina traditional village
Kami berencana ke Ende untuk mengunjungi danau Kelimutu dan rumah pengasingan Bung Karno di Ende. Setelah menghabiskan sarapan yang disediakan, kami segera berangkat. Jalan yang kami lalui masih sama, berliku dan curam. Perlu 9 jam untuk mencapai Ende, sebetulnya tidak memakan waktu selama itu jika saya tidak salah jalan dan menyempatkan berkunjung ke desa adat Gurusina. Tetapi jalan yang salah ini sebetulnya menuju ke Ende juga dengan jarak tempuh yang lebih dekat hanya saja keadaannya rusak dengan batu kerikil yang terlepas dan curam. Di rute ini terdapat
Mount Inerie as the background
beberapa desa adat yang masih dihuni masyarakat asli seperti Gurusina, Bena dan ada juga desa adat tanpa papan nama. Desa adat terletak di pinggir jalan sehingga mudah dijangkau. Bentuk rumah adat di Gurusina tidak seperti rumah adat di Waerebo. Cukup mencatatkan data diri pada buku tamu dan memasukkan uang seikhlasnya pada kotak yang disediaakan kita sudah bisa berkeliling sepuasnya. Kebetulan saat kami berkunjung kami ditemani oleh penjaga desa dan kedua anaknya -Marcel dan Widya- untuk berjalan-jalan. Kami diceritakan mengenai kehidupan dan budaya masyarakat adat setempat, hasil bumi yang mereka miliki serta kendala yang mereka hadapi. 
Gurusina Entrance

Bapak penjaga desa menginginkan pelatihan dan peralatan untuk mengolah hasil bumi menjadi barang dengan nilai ekonomis yang lebih tinggi. Istri bapak penjaga menunjukkan suvenir terbuat dari benang tenun sisa yang ia jual  dimana pembuatannya merupakan hasil binaan dari LSM di Bandung. Keluarga ini sangat terbuka dan ramah terhadap tamu dan tak sungkan menceritakan perjalanan hidupnya kepada kami. Kehangatan keluarga ini dan lucunya tingkah laku kedua anak mereka sungguh mengobati rasa lelah. 

Ketika sudah akan mencapai Ende, kami kehujanan dan harus berteduh di warung karena istri mogok naik motor dan tidak mau memakai jas hujan. Di warung kami bertemu dengan seorang guru dan kamipun mengobrol bersamanya dengan pemilik warung. Ternyata keduanya pernah mengunjungi kota Jogja. Orang Flores secara fisik memang terlihat agak kurang bersahabat, tetapi mereka sangat ramah dan sangat menyenangkan sebagai teman bicara. Mereka memberitahu jika kami sebentar lagi akan mencapai kota Ende dan menyarankan kami untuk mengunjungi Kelimutu di pagi hari karena semakin siang maka semakin besar kemungkinan kabut menyelimuti danau Kelimutu. Setelah hujan reda kami berpamitan dan benar saja 1 jam kemudian kami sampai di Ende. Di Ende kami menginap di Dasi Guesthouse yang terletak di depan RRI.


Hari 8 Ende 

Teringat saran pak Guru yang kami temui kemarin, kami segera menuju danau Kelimutu setelah selesai sarapan di penginapan. Kami sampai di danau Kelimutu pukul 09.00. Kami menyempatkan diri berfoto pada gerbang selamat datang lalu membayar tiket masuk di loket. Dari loket, masih perlu berkendara selama 15 menit untuk mencapai tempat parkir. Pagi itu tidak banyak kendaraan yang terpakir. Bagus lah……semakin tidak ramai maka semakin menyenangkan. Saat berjalan ke arah danau Kelimutu kami berjumpa dengan beberapa ekor monyet liar. Mereka akan cenderung menjauhi turis dan banyak himbauan untuk tidak memberi mereka makanan untuk kepentingan pelestarian. 

Hari itu ketiga kawah danau Kelimutu semua berwarna biru kehijauan. Ibu penjual makanan bercerita jika warna merah pada danau tidak sering terjadi dan tidak mereka harapkan. Karena warna merah pada kawah biasanya diikuti dengan musim kering yang panjang dan mengakibatkan gagal panen. Ibu-ibu penjual ini juga meminjamkan kain tenun untuk kita berfoto. Jika ingin membeli, harganya pun masih lebih murah jika dibandingkan dengan harga kain tenun di toko oleh-oleh Labuan Bajo. Setelah puas berfoto dan melihat keindahan danau Kelimutu, kami pun bergegas turun karena kabut sudah mulai turun dan langit juga mendung. Oh ya kamar mandi di sini sangat terjaga kebersihannya, tapi hati-hati airnya sedingin es…..hehehe. GPS saya sempat tertinggal di atas motor, namun pedagang di sekitar tempat parkir menyimpannya karena takut terkena hujan dan mengembalikannya begitu melihat saya. Jika ini terjadi di Jawa, mungkin GPS saya tidak akan saya temukan lagi.  
Rumah Pengasingan Bung Karno

Saat perjalanan kembali ke kota Ende, kabut tebal dan langit mendung menemani. Ketika hampir mencapai kota malah kami kehujanan. Setiap kami berteduh hujan mereda, tetapi hujan menjadi deras pada jalanan yang tidak ada warung untuk kami tumpangi. Akhirnya istri mau juga memakai jas hujan….wkwkwkwk. Setelah tengah hari kami tiba di rumah pengasingan Bung Karno. Rumah itu masih asri karena baru dipugar oleh salah satu Bank pemerintah. Setelah puas berkeliling kota Ende kamipun kembali ke penginapan.


Hari 9 Ende – Ruteng

Dimulailah perjalanan kami pulang ke barat. Kami menginap di hotel yang sama di Ruteng. Tidak banyak yang terjadi selain telepon dari kantor yang mengabarkan saya harus mengikuti pelatihan di akhir minggu, segera saya mendiskusikan hal ini dengan istri dan diputuskan untuk kembali ke Jakarta menggunakan pesawat terbang. Kami langsung memesan tiket dan mencari ekspedisi untuk mengirimkan motor dari Ruteng dan membuat janji dengan ekspedisi untuk keeesokan hari.


Hari 10 Ruteng – Labuan Bajo

Sebelum berangkat ke Labuan Bajo, saya mengunjungi ekspedisi dan memutuskan tidak jadi mengirimkan motor dari Ruteng karena mereka tidak bisa memberikan nomor resi yang bisa dilacak. Kami mencapai Labuan Bajo sebelum ashar dan sempat menyapa kembali bapak pemilik warung (baca hari ke-7). Karena Labuan Bajo adalah tujuan utama liburan kali ini maka kami mencari penginapan yang nyaman dan penyedia paket perjalanan. Kami menginap di Komodo Lodge yang terletak di dekat pusat kuliner kampung ujung. Jalanannya lebih sepi dan dilengkapi dengan tempat parkir yang luas. Sempat berkeliling mencari penyedia tour tapi belum ada yang cocok karena istri menginginkan pengalaman live on board yang ternyata hanya tersedia saat akhir pekan.


Hari 11 – 14 Labuan Bajo

Hari kesebelas hanya kami gunakan untuk berkeliling Labuan Bajo, mencari ekspedisi untuk mengirim motor ke Jakarta dan membeli oleh-oleh. Kami mengunjungi pantai Waecicu dan melihat bukit cinta dari kejauhan. Kami juga mencoba makan di restoran Italia Mediteraneo yang memang enak rasanya. Di hari keduabelas pukul 06.00 kami mulai full day trip mengunjungi pulau Padar, pulau Komodo, Pink Beach dan Manta point. Kami bertemu 5 komodo di sekitar tempat minum mereka, berfoto dengan latar belakang 3 pantai di pulau Padar, melihat ikan Manta, ubur-ubur dan Lumba-Lumba. Kami bahkan memiliki video ikan manta. Sayang snorkeling di Pink Beach kurang mengasyikkan karena selain dibatasi waktu (20 menit saja) juga karena arus yang kuat. Istri saya bahkan harus dibantu crew untuk kembali ke kapal. 

Ikan dan koral di sana tidak terlalu banyak dan tidak terlalu bagus. Segera setelah semua orang kembali ke kapal, kapten kapal segera memacu kapalnya kembali ke Labuan Bajo namun sebelumnya kami dibawa mampir ke Manta Point. Pemandangan disini sangat bagus, puluhan ikan Manta berenang di sekitar kapal. Beberapa wisatawan memutuskan berenang untuk mendekati ikan Manta sedagkan kami memutuskan melihat saja dari atas kapal sambil mencoba mengambil vidio bawah air. Namun tak lama mereka yang berenang bergegas naik ke kapal sambil berteriak kesakitan karena mereka berenang melewati gerombolan ubur-ubur. 

Setelah puas melihat, kapten memacu kapal kembali ke pelabuhan Labuan Bajo. Dalam perjalanan kembali kami beruntung karena melewati gerombolan lumba-lumba. Begitu sampai di pelabuhan Labuan Bajo kami segera berganti baju dan kembali mencari ekspedisi di pelabuhan serta mendaftarkan diri untuk paket snorkeling full day. Ternyata ekspedisi di pelabuhan menghitung biaya ekspedisi per kontainer, sehingga terlalu mahal bagi saya.

Dermaga Waecicu
Untuk paket snorkeling ini kami menyewa kapal hanya untuk kami berdua dengan harga yang tidak terlalu mahal. Kami sudah membeli masker snorkeling berlensa minus, sayang kan kalau tidak digunakan maksimal. Paket ini selain mencakup harga kapal, juga termasuk penyewaan alat snorkling, air mineral dan makan siang. Dimulai pukul 08.00 kami dibawa mengunjungi pulau Kelor, pulau Kanawa dan pulau Bidadari. Ikan dan terumbu karang paling banyak ada di pulau Kanawa. Untuk bisa berenang di sini kami harus membayar tiket sebesar Rp 50.000 per kapal. Setelah membayar kami  bebas berenang dan bermain di pantainya tanpa batasan waktu. 

Ikan disini sudah terbiasa diberi makan roti oleh wisatawan sehingga begitu kami mulai masuk ke air ikan-ikan akan mengerubuti. Di pulau ini tersedia restoran untuk yang ingin mencoba seafood hasil laut sekitar.  Di pantai pulau Bidadari juga terdapat pecahan koral merah yang membuat pasirnya berwarna pink seperti di pantai Pink Beach. Setelah lelah berenang, kami meminta kapten kapal kembali ke Labuan Bajo dan tiba di pelabuhan pukul 15.00. 

Setelah membersihan diri dan berganti baju kami segera mengunjungi kantor JNE untuk menanyakan detail pengiriman motor. Keesokan harinya setelah sarapan dan berkemas, saya bergegas ke kantor JNE bersama dengan istri yang menaiki motor sewaan dari hotel. Selain motor, kami juga mengirimkan sepatu motor, helm, sarung tangan, jas hujan dan alat motor lainnya. Biaya pengiriman motor dari Labuan Bajo ke Jakarta adalah sebesar Rp 3.835.000 sudah termasuk asuransi dengan estimasi waktu yang tidak diketahui dikarenakan motor nantinya dari Labuan Bajo akan dikirim ke Kupang/Bali tergantung truk yang paling cepat tersedia. Petugas JNE hanya mengatakan jika motor diestimasi akan sampai di Jakarta lebih dari seminggu. Sebelum membayar, saya dan petugas
The View
JNE memeriksa kelengkapan motor bersama-sama. Saya berdoa motor akan selamat sampai di Jakarta tanpa lecet sedikitpun….fingers crossed. Selesai dengan administrasi pengiriman motor kami segera kembali ke hotel dan meminta fasilitas pengantaran ke Bandara. Akhirnya setelah petualangan selama 14 hari, kami mengakhirinya dengan menumpang pesawat ke Jakarta pada pukul 14.00. Semoga saya bisa kembali mengunjungi pulau Flores yang indah ini.
komodo Dragon